Siang
itu matahari bersinar sangat terik namun tidak seperti suasana kelas yang
sedang riang. Hari ini kami semua bermain tentang pengalaman terbaik dan
terburuk yang pernah kami alami. Sebenarnya permainan ini tidak begitu seru
namun tiba-tiba menjadi seru ketika Pak Dena ikut bermain.
Pak
Dena adalah guru Bahasa Indonesia kami. Dia baik sekali. Mungkin jika ada
nominasi guru terbaik teramah terlucu terjayus ter semua deh dia pasti masuk.
Tapi kami semua tidak pernah menyangka kalau dia pernah mengalami suatu
pengalaman terbaik sekaligus terburuk secara bersamaan.
“Saat
aku masih duduk dikelas 3 SMP seperti kalian,….” Pak Dena selalu menggunakan
kata ganti aku dibanding menggunakan kata bapak. Katanya ia ingin menjadi teman
yang mengajarkan kami yang bodoh ini bukan guru yang mengajar untuk mendapatkan
nafkah.
“Terus
pak?”tanya Ghandi yang memang punya rasa penasaran yang tinggi akan sesuatu
yang belum pernah ia ketahu.
“Saat
itu aku punya sahabat, dia bernama Tama, dia baik sekali, dan kami sangatlah
dekat tak ada yang bisa memisahkan kami, kemana saja kami pergi kami selalu
bersama, aku bahkan telah menganggapnya seperti adikku sendiri…..”ia memandang
jauh melewati pintu kelas. Mungkin ia sedang mengingat-ingat masa-masa SMPnya.
“Kalau
ceritanya gitu doang saya juga bisa cerita kali Pak!”tiba-tiba Ojan berseru dan
memecahkan bayanganku terhadap cerita Pak Dena.
Pak
Dena pun melanjutkan ceritanya bahkan ia tidak menghiraukan Ojan juga anak-anak
lain. Pak Dena seperti berbicara pada dirinya sendiri, pandangannya tidak pada
kami. “Aku menganggapnya seperti adik yang harus kulindungi setiap saat. Suatu
hari aku bercerita padanya kalau aku ingin menjodohkan anakku dengannya”
“
‘Tam, gimana kalo kita ngejodohin anak kita masing-masing. Aku pengin kita ada
ikatan keluarga beneran’ kataku padanya.
‘Ngejodohin?
Kamu yakin? Pasti anak kita gak akan mau dikira masih zaman Siti Nurbaya kali’
‘Yah
gak apa-apa. Kan kita gak maksain cuma ngejodohin aja, mungkin mereka jodoh’
‘ENGGAK!!!
Aku gak mau Dena!’ lalu dia meninggalkanku. Awalnya aku kira dia cuma marah biasa
namun lama kelamaan sepertinya masalah ini jadi besar. Aku gak mau kehilangan
dia cuma karena masalah sepele’ kayak gini. Tapi Tama, aku bingung. Ada yang
aneh dari dia. Tiap aku mencoba mendekat dan berbicara dia langsung berusaha
menjauhiku. Dia buat alasan-alasan yang dulunya gak ada. Tapi anehnya dia tetap
baik kepadaku. Namun di lain sisi, aku juga merasa kehilangan Rara, dia sahabat
juga wanita yang kucintai. Sebelum pertengkaran itu, kami sering bermain
bertiga. Namun kini tak ada kebersamaan lagi diantara kami. Dan seiring
berjalannya waktu ternyata Rara mulai menjauhiku juga. Aku kehilangan Tama dan
Rara. Entah apa yang terjadi tapi aku harus bertanya pada mereka, aku tak mau
terus dihantui rasa bersalah seperti ini. Di suatu malam akhirnya aku beranikan
diri untuk pergi ke rumah Tama dan menanyakan hal ini. Seperti biasanya, aku
mengetuk jendela kamar Tama. Namun sebelum aku mengetuknya tiba-tiba terdengar
suara tangisan dari dalamnya. Betapa kagetnya aku saat menyadari suara itu
adalah suara Rara, cinta pertamaku.
‘Tama,
mau kamu apa ngelakuin ini? Kamu mau buktiin kalo kamu sahabat terbaik Dena
gitu!!!’
‘Aku
gak mau apa-apa, yang penting dia senang itu doang’
‘Tapi
tolong jangan bawa aku kedalam cinta segitiga ini. Aku gak kuat slalu kayak
gini’
‘Ra,
aku juga gak mau ngelakuin ini. Aku cuma mau yang terbaik untuk Dena, aku gak
mau Dena benci sama aku’
‘Tapi
gak dengan ngancurin cinta kita kan?’
Perlahan-lahan,
jari-jariku mulai kaku. Aku tak bisa bergerak. Tama merelakan cintanya hanya
demi aku. Aku tahu memang kami bersahabat tapi aku tak akan pernah berfikir
untuk membiarkan cintaku untuk orang lain. Air mata mengalir deras di kedua
mataku. Telingaku tak kuat lagi mendengar semua perkataan Tama yang mendukungku
mati-matian.
Malam
itu aku pulang ke rumah tanpa berbicara sepatah kata pun pada Tama juga Rara.
Keesokan harinya aku minta maaf sama Tama dan bilang kalau sebaiknya ia harus
segera menembak Rara. Dia senang sekali. Dua tahun yang lalu aku dengar mereka
berdua telah menikah dan baru kemarin aku dapat berita dari Tama kalau ia
mempunyai seorang bayi laki-laki yang baru lahir dengan selamat dan mereka
memberikan bayi itu nama ‘Dena’, katanya untuk mengingatku selalu.
Aku
selalu berfikir bagaimana jika malam itu aku tidak ke rumah Tama dan mendengar
semua yang terjadi, aku tak tahu apa yang akan terjadi saat ini. Dan mungkin
Dena kecil tidak akan ada.
bagus critanya,cman bikin galau1
BalasHapusAh itumah dasar lo nya aja JO! Yang galau terus wkwkwk *peace
BalasHapuscie galau
BalasHapus