Marisa's blog: My Best Friend and My First Love

Senin, 06 Februari 2012

My Best Friend and My First Love


Siang itu matahari bersinar sangat terik namun tidak seperti suasana kelas yang sedang riang. Hari ini kami semua bermain tentang pengalaman terbaik dan terburuk yang pernah kami alami. Sebenarnya permainan ini tidak begitu seru namun tiba-tiba menjadi seru ketika Pak Dena ikut bermain.
Pak Dena adalah guru Bahasa Indonesia kami. Dia baik sekali. Mungkin jika ada nominasi guru terbaik teramah terlucu terjayus ter semua deh dia pasti masuk. Tapi kami semua tidak pernah menyangka kalau dia pernah mengalami suatu pengalaman terbaik sekaligus terburuk secara bersamaan.
“Saat aku masih duduk dikelas 3 SMP seperti kalian,….” Pak Dena selalu menggunakan kata ganti aku dibanding menggunakan kata bapak. Katanya ia ingin menjadi teman yang mengajarkan kami yang bodoh ini bukan guru yang mengajar untuk mendapatkan nafkah.
“Terus pak?”tanya Ghandi yang memang punya rasa penasaran yang tinggi akan sesuatu yang belum pernah ia ketahu.
“Saat itu aku punya sahabat, dia bernama Tama, dia baik sekali, dan kami sangatlah dekat tak ada yang bisa memisahkan kami, kemana saja kami pergi kami selalu bersama, aku bahkan telah menganggapnya seperti adikku sendiri…..”ia memandang jauh melewati pintu kelas. Mungkin ia sedang mengingat-ingat masa-masa SMPnya.
“Kalau ceritanya gitu doang saya juga bisa cerita kali Pak!”tiba-tiba Ojan berseru dan memecahkan bayanganku terhadap cerita Pak Dena.
Pak Dena pun melanjutkan ceritanya bahkan ia tidak menghiraukan Ojan juga anak-anak lain. Pak Dena seperti berbicara pada dirinya sendiri, pandangannya tidak pada kami. “Aku menganggapnya seperti adik yang harus kulindungi setiap saat. Suatu hari aku bercerita padanya kalau aku ingin menjodohkan anakku dengannya”
“ ‘Tam, gimana kalo kita ngejodohin anak kita masing-masing. Aku pengin kita ada ikatan keluarga beneran’ kataku padanya.
‘Ngejodohin? Kamu yakin? Pasti anak kita gak akan mau dikira masih zaman Siti Nurbaya kali’
‘Yah gak apa-apa. Kan kita gak maksain cuma ngejodohin aja, mungkin mereka jodoh’
‘ENGGAK!!! Aku gak mau Dena!’ lalu dia meninggalkanku. Awalnya aku kira dia cuma marah biasa namun lama kelamaan sepertinya masalah ini jadi besar. Aku gak mau kehilangan dia cuma karena masalah sepele’ kayak gini. Tapi Tama, aku bingung. Ada yang aneh dari dia. Tiap aku mencoba mendekat dan berbicara dia langsung berusaha menjauhiku. Dia buat alasan-alasan yang dulunya gak ada. Tapi anehnya dia tetap baik kepadaku. Namun di lain sisi, aku juga merasa kehilangan Rara, dia sahabat juga wanita yang kucintai. Sebelum pertengkaran itu, kami sering bermain bertiga. Namun kini tak ada kebersamaan lagi diantara kami. Dan seiring berjalannya waktu ternyata Rara mulai menjauhiku juga. Aku kehilangan Tama dan Rara. Entah apa yang terjadi tapi aku harus bertanya pada mereka, aku tak mau terus dihantui rasa bersalah seperti ini. Di suatu malam akhirnya aku beranikan diri untuk pergi ke rumah Tama dan menanyakan hal ini. Seperti biasanya, aku mengetuk jendela kamar Tama. Namun sebelum aku mengetuknya tiba-tiba terdengar suara tangisan dari dalamnya. Betapa kagetnya aku saat menyadari suara itu adalah suara Rara, cinta pertamaku.
‘Tama, mau kamu apa ngelakuin ini? Kamu mau buktiin kalo kamu sahabat terbaik Dena gitu!!!’
‘Aku gak mau apa-apa, yang penting dia senang itu doang’
‘Tapi tolong jangan bawa aku kedalam cinta segitiga ini. Aku gak kuat slalu kayak gini’
‘Ra, aku juga gak mau ngelakuin ini. Aku cuma mau yang terbaik untuk Dena, aku gak mau Dena benci sama aku’
‘Tapi gak dengan ngancurin cinta kita kan?’
Perlahan-lahan, jari-jariku mulai kaku. Aku tak bisa bergerak. Tama merelakan cintanya hanya demi aku. Aku tahu memang kami bersahabat tapi aku tak akan pernah berfikir untuk membiarkan cintaku untuk orang lain. Air mata mengalir deras di kedua mataku. Telingaku tak kuat lagi mendengar semua perkataan Tama yang mendukungku mati-matian.
Malam itu aku pulang ke rumah tanpa berbicara sepatah kata pun pada Tama juga Rara. Keesokan harinya aku minta maaf sama Tama dan bilang kalau sebaiknya ia harus segera menembak Rara. Dia senang sekali. Dua tahun yang lalu aku dengar mereka berdua telah menikah dan baru kemarin aku dapat berita dari Tama kalau ia mempunyai seorang bayi laki-laki yang baru lahir dengan selamat dan mereka memberikan bayi itu nama ‘Dena’, katanya untuk mengingatku selalu.
Aku selalu berfikir bagaimana jika malam itu aku tidak ke rumah Tama dan mendengar semua yang terjadi, aku tak tahu apa yang akan terjadi saat ini. Dan mungkin Dena kecil tidak akan ada.

3 komentar: